Gimana rasanya ketika motor yang anda kendarai bocor di tengah jalan sementara jalan itu membelah hutan yang terkenal dengan harimaunya? Salah satu sahabat saya pernah mengalaminya, Nah berikut kisahnya yang ia kirim via email ke saya:
“Aku punya kisah nyata yang kualami ketika berada di tengah hutan yang lebat. Saat itu bulan Ramadhan tahun 2007 M. Kalau tidak salah aku sedang duduk di bangku terakhir kuliahku, yaitu semester 9 di jurusan Kimia Universitas Andalas-Padang.
Seperti di bulan-bulan Ramadhan sebelumnya, aku banyak diminta oleh berbagai sekolah maupun majelis ta’lim di kota padang untuk mengisi kajian Islami untuk remaja. Biasanya aku memberikan materi ke masjid-masjid mereka tentang akidah dan gaya hidup remaja muslim. Namun Ramadhan kali ini agak sedikit berbeda, karena aku dapat panggilan untuk memberi ceramah agama di salah satu dusun di pinggir kota Solok, dekat Kota Ilalang, di mana di sana ada beberapa anak SMP dan SMA yang menjadi garapan pesantren kilat selama ramadhan.
Jarak dari Solok ke kota Padang sebenarnya tidaklah terlalu jauh, yaitu sekitar 50 Km kurang lebihnya. Namun jalannya yang berliku-liku dan mendaki membuat perjalanan menjadi cukup lama dan menyulitkan, belum lagi banyak bus dan truk besar yang lalu lalang di jalan tersebut ditambah kabut tebal karena musim hujan. Kiri kanan jalan adalah hutan lebat yang menjadi Taman Nasional, dan terkenal dengan nama Taman Hutan Raya Bung Hatta. Hutan ini adalah hutan tropis yang cukup luas dengan kekayaan hutannya yang beragam, diantaranya adalah harimau sumatera yang juga banyak mendiami daerah tersebut.
Aku harus mengisi kajian yang diadakan ba’da Ashar dari pukul 16 sampai 17 dengan tema ‘Berpuasa bersama Rosul’. Untuk berangkat dari kota Padang ke Solok aku menggunakan motor Astrea Grand 96 yang memang biasa aku pakai untuk berangkat kuliah dan mengajar. Waktu yang dibutuhkan untuk perjalanan ke Solok adalah sekitar dua setengah jam dari kota Padang, normalnya sih 2 jam –an, namun karena waktu itu jalanan tengah berkabut, kondisi lalu lintas agak tersendat, terutama ketika di pendakian yang berliku.
Sampai di Solok, seperti biasa, aku ceramah, memberikan sedikit ilmu dan games menarik untuk anak-anak di dusun sana. Memang agak terkesan berbeda dibanding kota Padang. Baik dari cara pandang mereka tentang Islam dan ketertarikan mereka terhadap games-games baru yang kuberikan pada mereka. Aku cukup senang bersama mereka bahkan berdialog tanya jawab masalah ‘ramalan bintang dalam pandangan islam’.
Sampai akhirnya aku selesai dengan mereka dan pulang pada pukul 17.30 WIB. Saat itu ketua panitia acara meminta ku untuk berbuka puasa di sana saja. Namun aku lebih memilih untuk berbuka puasa di jalan saja, karena kalau ditunggu sekalipun masih ada satu jam lagi, maklum karena daerah sumatera barat berbeda setengah jam dalam waktu sholatnya di jakarta, jadi kami berbuka pada pukul 18.30 WIB. Sore itu juga aku pulang kembali ke Padang dengan harapan dapat segera sampai di Indarung dekat PT. Semen Padang, sehingga bisa berbuka di sana.
Namun ketika dalam perjalanan pulang, alangkah malangnya nasib saya, qadarullah, ban belakang motorku bocor dan tidak bisa melanjutkan perjalanan. Ban bocor tepat di perbatasan Solok – Padang, yaitu sekitar 12 km dari tempat aku mengajar tadi dan 27 km dari kota Padang, aku terjebak di tengah hutan rimba belantara pada sekitar pukul 18.00 WIB dengan keadaan hutan berkabut dan jalanan yang cukup sepi.
‘Ya Allah, apalagi cobaan yang Engkau berikan kepadaku saat ini’, demikian gumamku dalam hati sembari berzikir Subhanallah Alhamdulillah Allahu Akbar agar kiranya dapat selamat dari masalah ini.
Aku hanya bisa mendorong sepeda motor dengan sangat hati-hati menuruni jalanan dan tikungan yang tajam sembari mencari bantuan, dengan harapan ada tukang tambal ban yang ada disekitar sana. Harapan aku nyaris terwujud, tatkala melihat sebuah pondok kecil yang ada ban dalam digantung diatasnya, dengan segera aku menenteng motor untuk cepat-cepat menghampiri pondok itu dan berharap ada seseorang yang dapat membantu saya. Namun, naas, tak ada seorang pun disana yang duduk ataupun berjaga, ternyata tempat tersebut hanya bekas tempat tambal ban yang telah lama tidak didiami oleh yang pemiliknya. aku hanya bisa menghela napas, tatkala jam Handphone aku menunjukkan pukul 18.15 WIB. aku letih sekali, perut kosong dan haus yang tidak tertahan, aku hanya bisa duduk sejenak, dan menunggu mobil truk atau bak terbuka yang lewat, karena magrib itu begitu lengang sekali, yang ada hanya nyanyian-nyanyian burung hutan yang bersahut-sahutan dan menggema seakan-akan menertawakan keadaan aku yang sudah tak berdaya ini. Beberapa kali aku sempat melambaikan tangan dan berhenti meminta pertolongan kepada truk atau mobil bak terbuka yang lewat, namun sayang, tak satu pun dari mereka yang mau berhenti dan menolong saya, maklum tempat aku berhenti saat ini adalah salah satu daerah rawan perampokan, di mana banyak ‘bajing loncat’ yang sering membajak truk atau bus yang lewat, sehingga mungkin saja saat itu mereka takut untuk mengangkut dan menolong saya.
Hingga, berbunyilah alarm handphoneku menandakan waktu berbuka puasa. Saat itu tak ada yang bisa aku makan ataupun minum melainkan embun dari dedaunan hutan yang bisa aku jilat untuk melepas puasa saya. Alhamdulillah, entah kenapa kehausan yang begitu sangat tadi hilang seketika dan berubah menjadi kesegaran, padahal kalau dikumpulkan airnya pun tidak sampai seciduk dua belah tangan. Allahu Akbar
Selepas sholat maghrib dengan tayamum, perut yang lapar tidak begitu menjadi konsentrasi saya, karena waktu sudah hampir jam 7 malam, dan malam pun semakin gelap dengan suhu hutan yang sangat dingin. Sinyal handphone pun kosong, tak bisa dihubungi atau pun menghubungi. Sebenarnya, sempat sebuah mobil patroli polisi lewat, namun mereka hanya berhenti sebentar dan berkata, ‘Nanti juga ada mobil yang mengangkut kamu..’ dan mereka dengan begitu saja meninggalkanku.
Di tengah kekalutan yang mencekam itu aku benar-benar khawatir dengan keselamatan diri aku dan motorku. Sebenarnya bisa saja motor itu kutinggalkan untuk sementara di tengah hutan dan ikut mobil polisi itu untuk mencari bantuan di kota padang. Akan tetapi, motor ini adalah bukan motor milik aku pribadi, ini adalah milik paman aku yang bekerja di kantor kelurahan. aku diberikan amanah untuk senantiasa merawat dan menjaganya.
Apa boleh buat, aku harus bertahan di rimba ini dan menjaga seutuhnya motor itu dari segala macam kejahatan yang berusaha merampasnya dariku. Namun yang paling aku takuti saat itu adalah binatang buas yang turun dari lereng rimba di Hutan raya. Konon, kata teman-teman aku yang sering mendaki gunung, areal lembah adalah tempat berbahaya ketika magrib menjelang malam, karena banyak binatang buas yang turun untuk mencari makan.
Aku begitu menggigil kedinginan, seakan-akan hampir mati karena berkabut dan hujan rintik yang melanda. Dinginnya sampai menusuk tulang ini, dan lagi-lagi, aku hanya bisa berdoa dan berdoa. ‘Ya Allah, sekiranya aku mati di belantara ini, jadikanlah aku sebagai orang-orang yang wafat di jalan Mu, sekiranya aku mati dimakan binatang buas, jadikanlah dagingku ini gizi dan nutrisi yang cukup untuk binatang itu tumbuh dan berkembang biak, sekiranya aku mati dalam pertarunganku membela hartaku, jadikanlah ini sebagai bukti syahid ku menghadap Mu’
Tak berapa lama kemudian, sebuah kijang pick up warna hitam membunyikan klaksonnya menyapa ku ditengah sorotan lampu kabut nya menerobos kantukku yang diselubungi ketakutan dan kepasarahan. ‘Hey diak, manga di siko malam-malam ,,, (heh adik, mengapa di sini malam-malam)?’ tanya seorang pria yang menyetir mobil itu sembari turun dari mobilnya.
Aku benar-benar terkejut dan tak akan melupakan wajah pria itu. Putih bermata sipit seperti pria beretnis cina, tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu pendek. Dia membantu aku mengangkat motor aku ke mobil pick up nya seraya mengikatnya kencang-kencang dengan tali. aku tidak bisa membayangkan ini terjadi, aku pikir ini hanya mimpi dan halusinasi sampai akhirnya 1 jam kemudian aku sampai di Indarung dekat PT. Semen Padang untuk selanjutnya mendapatkan bantuan untuk menambal ban motor saya.
Aku sangat berterimakasih pada bapak itu, mencoba memberikan uang terimakasih kepadanya, namun dengan serta merta ia menolaknya dan tersenyum kepadaku.
Akhirnya aku sampai di Indarung, sembari makan nasi di sebuah warung makan sambil menunggu tukang tambal ban selesai menambalnya, aku hanya bisa termenung dan berpikir betapa pertolongan Allah itu amat dekat, Wallahu Akbar